Cara Sederhana Mendiagnosa Gangguan JIN, SIHIR, 'AIN, dan HASAD



Saudaraku yang dirahmati Allah, yang perlu diingat adalah apakah anda benar-benar perlu diruqyah? Atau apa yang sedang menimpa anda cuma was-was saja? Atau hanya bisikan-bisikan setan saja?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas kita harus mengenal ciri-ciri seseorang yang ada gangguan jin sebagai sarana untuk mengetahui apa memang ada gangguan atau tidak.

Seorang peruqyah tidak jauh berbeda dengan seorang dokter. Dia harus melakukan diagnosa untuk mengetahui jenis penyakit agar bisa memberikan obat yang tepat.

Untuk itu mari kita mulai dengan mengenal masing-masing penyakitnya yaitu:

1.CIRI-CIRI UMUM TERKENA 'AIN DAN HASAD
1.Keadaan yang awalnya baik-baik saja tiba-tiba berubah buruk. Misalnya yang awalnya sehat-sehat saja, tiba-tiba sakit.
2.Kulit tiba-tiba ada bintik-bintik yang sebentar timbul dan tidak lama hilang.
3.Rasa berat di kening, dibelakang kepala, dan pundak.
4.Tiba-tiba lemas sekali. Dada terasa sesak dan tidak sabaran.
5.Kurang percaya diri dan pelupa.
6.Selalu mendapat kegagalan dalam pelajaran dan usaha.


2.CIRI-CIRI TERKENA SIHIR
1.Keluarnya bau busuk dari perut melalui mulut.
2.Keluarnya bau busuk dari tubuh.
3.Perut terasa sangat sakit. Sering muntah.
4.Tidak nafsu makan.
5.Wajah kelihatan menghitam.
6.Keluar bintik-bintik biru di badan.
7.Tubuh terasa benar-benar berat.
8.Penglihatan lemah.
9.Nafas sesak seperti penyakit paru-paru.
10.Selalu bermasalah yang tidak biasanya.
11.Sulit dapat jodoh dan tunangan tiba-tiba gagal.
12.Sulit berhubungan intim.
13.Suami benci sama istri dan sebaliknya.
14.Sehat tapi tidak bisa hamil.
15.Tidak mau bersosialisasi.
16.Sering keguguran.
17.Perubahan yang tiba-tiba pada prilaku.


3.CIRI-CIRI GANGGUAN JIN
1.Gerakan yang aneh di sebagian anggota tubuh terutama diotot.
2.Tidak bisa konsentrasi.
3.Malas sekali beribadah.
4.Tidak suka membaca Alquran.
5.Tidak suka mendengar azan.
6.Selalu ingin berbuat maksiat.
7.Sesak didada dan merasa sedih.
8.Getaran-getaran diujung tangan dan kaki.
9.Terasa berat pada lutut.
10.Terasa sakit di bawah punggung.
11.Rasa sakit yang kadang timbul kadang hilang terutama didaerah kedua siku dan kaki.
12.Sakit kepala.
13.Kuat tidur dan sulit dibangunkan.
14.Merasa diawasi.
15.Merasa ada yang memanggil, namun setelah menoleh tidak ada orang.
16.Sering mimpi buruk khususnya mimpi melihat anjing dan ular.
17.Merasa putus asa dari rahmat Allah.


Ciri-ciri diatas adalah diagnosa awal dan setelah mengenal masing-masing ciri-ciri gangguan diatas, maka sekarang saatnya kita melakukan diagnosa lanjutan dengan membacakan ayat-ayat ruqyah dengan tujuan untuk lebih meyakinkan kita apa seseorang itu memang benar-benar membutuhkan ruqyah syar'iyah atau tidak.

Perhatikan setelah dibacakan ruqyah pasien akan merasakan seperti; sakit, panas, ingin menangis, ingin muntah, merasa tercekik, dll, maka ini menandakan pasien positif ada gangguan jin. Untuk mengetahui jenis penyakit atau gangguannya, kita harus memusatkan perhatian terhadap segala bentuk perubahan jiwa dan tubuh ketika membaca ayat-ayat ruqyah, dan memperhatikan ayat-ayat apa saja yang membuat pasien merasakan reaksi diatas.

Adapun bila pasien sama sekali tidak merasakan hal-hal diatas setelah dibacakan ruqyah, atau pasien merasa normal-normal saja, maka pasien bersih dari gangguan jin. Dalam hal ini pasien patut mengucapkan alhamdulillah.

Mari kita mulai mendiagnosa masing-masing jenis gangguan jin diatas dengan ayat-ayat ruqyah:

1.MENDIAGNOSA 'AIN DAN HASAD
Mulailah dengan membaca ayat-ayat berikut dengan khusyu' dan penuh pemahaman:
1.Alfatihah.
2.Albaqarah:109.
3.An-Nisaa:54.
4.Al-Qalam:6.
5.Al-Ikhlas
6.Al-Falaq
7.An-Nas


2.MENDIAGNOSA SIHIR
1.Albaqarah:102
2.Al-A'raaf:117-122
3.Yunus:77-82
4.Thahaa:65-70
5.As-Syuaraa:43-48


3.MENDIAGNOSA GANGGUAN JIN
1.Alfatihah
2.Albaqarah:1-5
3.Albaqarah:163-164
5.Ayat kursi(Albaqarah:255).
6.Albaqarah:285-286
7.Al-A'raf:54-56 
8.Al-Mukminun:115-118
9.As-Shofaat:1-10
10.Al-Ahqof:29-32
11.Ar-Rahman:33-36
12.Al-Hasyr:21-24
13.Al-Jin:1-9
14.3 Qul


Setelah kita bacakan ayat-ayat diatas biasanya akan ada reaksi dari masing-masing jenis gangguan diatas yaitu:

1.REAKSI TERKENA 'AIN DAN HASAD
1.Banyak menguap.
2.Mengantuk.
3.Keluar air mata.
4.Berat di pundak, kening, dan belakang kepala.
5.Berkeringat.


2.REAKSI TERKENA SIHIR
1.Menangis ketika dibacakan ayat-ayat sihir(dan ini menandakan sihirnya memiliki khodam).
2.Kadang melihat rambut yang terikat didepan mata walaupun mata terpejam
3.Lihat kembali ciri-ciri sihir diatas.


3.REAKSI TERKENA GANGGUAN JIN
1.Jantung berdegup kencang.
2.Rasa sakit berpindah-pindah dari satu anggota tubuh ke anggota tubuh yang lain.
3.Kesurupan atau pingsan.
4.Terlelap tidur secara tiba-tiba. Sulit menelan.
5.Sesak nafas.
6.Mata memerah.
7.Kadang merasa ada seseorang yg ingin berbicara ketika ayat-ayat ruqyah dibaca.
8.Lihat kembali ciri-ciri gangguan jin diatas.


Ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan sbb:

Bila bercampur ciri-ciri gangguan jin dan sihir, ini menandakan sihir itu ada khodam sihirnya, atau kemungkinan gangguan jinnya baru atau sudah lama. Disini ciri-ciri gangguan jin, sihir, dan 'ain hampir mirip disebabkan oleh adanya jin sehingga pasien merasakan sakit yang terus menerus pada anggota tubuh yang berbeda-beda pada waktu yang bersamaan.

Bagi yang mau menambahkan atau mau di share silahkan. Lebih kurangnya mohon dimaklumi.Terima kasih sudah membaca.

Kiat Membentengi Keluarga dari Sihir


SEKILAS TENTANG HAKIKAT SIHIR

Secara etimologis, sihir artinya sesuatu yang tersembunyi dan sangat halus penyebabnya. Sedangkan menurut istilah syariat, Abu Muhammad Al Maqdisi menjelaskan, sihir adalah azimat-azimat, mantra-mantra atau pun buhul-buhul yang bisa memberi pengaruh terhadap hati sekaligus jasad, bisa menyebabkan seseorang menjadi sakit, terbunuh, atau pun memisahkan seorang suami dari istrinya. [1]


Jadi sihir benar-benar ada, memiliki pengaruh dan hakikat yang bisa mencelakakan seseorang dengan taqdir Allah yang bersifat kauni . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَاهُم بِضَآرِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللَّهِ
“Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang bisa mereka gunakan untuk menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka (ahli sihir) itu tidak dapat memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah” [Al Baqarah : 102].
Demikian juga firman Allah yang memerintahkan kita berlindung dari kejahatan sihir :
وَ مِنْ شَر ِّ النَّفَّاثاَتِ فْي العُقَدِ
“Dan (aku berlindung kepada Allah) dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembuskan pada buhul-buhul”. [Al Falaq : 4].
Seandainya sihir tidak memiliki pengaruh buruk, tentu Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan memerintahkan kita agar berlindung darinya.[2]
Sihir juga pernah menimpa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu ketika seorang Yahudi bernama Labid bin Al A’sham menyihir Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aisyah rahimahullah menceritakan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُحِرَ حَتَّى كَانَ يَرَى أَنَّهُ يَأْتِي النِّسَاءَ وَلَا يَأْتِيهِنَّ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah disihir, sehingga Beliau merasa seolah-olah mendatangi istri-istrinya, padahal tidak melakukannya”.[3]
Berkaitan dengan hadits ini, Al Qadhi ‘Iyadh menjelaskan: “Sihir adalah salah satu jenis penyakit diantara penyakit-penyakit lainnya yang wajar menimpa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti halnya penyakit lain yang tidak diingkari. Dan sihir ini tidak menodai nubuwah Beliau. Adapun keadaan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu, seolah-olah membayangkan melakukan sesuatu, padahal Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya. Hal itu tidak mengurangi kejujuran Beliau. Karena dalil dan ijma’ telah menegaskan tentang kema’shuman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sikap tidak jujur. Terpengaruh sihir perkara yang hanya mungkin terjadi pada diri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah duniawi yang bukan merupakan tujuan risalah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diistimewakan lantaran masalah duniawi pula. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia biasa yang bisa tertimpa penyakit seperti halnya manusia. Maka bisa saja terjadi, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikhayalkan oleh perkara-perkara dunia yang tidak ada hakikatnya. Kemudian perkara itu (pada akhirnya) menjadi jelas sebagaimana yang terjadi pada diri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.[4]
Sihir memiliki bentuk beraneka ragam dan bertingkat-tingkat. Di antara contohnya adalah tiwalah (sihir yang dilakukan oleh seorang istri untuk mendapatkan cinta suaminya/pelet), namimah (adu domba), al ‘athfu (pengasihan), ash sharfu (menjauhkan hati) dan sebagainya. Sebagian besar sihir ini masuk ke dalam perbuatan kufur dan syirik, kecuali sihir dengan membubuhi racun atau obat-obatan serta namimah, maka ini tidak termasuk syirik.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan: “Sihir termasuk perbuatan syirik ditinjau dari dua sisi.
Pertama : Karena dalam sihir itu terdapat unsur meminta pelayanan dan ketergantungan dari setan serta pendekatan diri kepada mereka melalui sesuatu yang mereka sukai, agar setan-setan itu memberi pelayanan yang diinginkan.
Kedua : Karena di dalam sihir terdapat unsur pengakuan (bahwa si pelaku) mengetahui ilmu ghaib dan penyetaraan diri dengan Allah dalam ilmuNya, dan adanya upaya untuk menempuh segala cara yang bisa menyampaikannya kepada hal tersebut. Ini adalah salah satu cabang dari kesyirikan dan kekufuran”.[5]
Hukum mempelajari dan melakukan sihir adalah haram dan kufur. Hukuman bagi para tukang sihir adalah dibunuh, sebagaimana yang diriwayatkan dari beberapa orang sahabat [6]. Dan sihir merupakan perbuatan setan. Allah Azza wa Jalla berfirman :
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُوا الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَاكَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِّنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (dan tidak mengerjakan sihir), tetapi setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia”. [Al Baqarah : 102]

PETUNJUK NABI UNTUK MENANGKAL DAN MENGOBATI SIHIR

Seperti telah dijelaskan oleh para ulama, sihir termasuk jenis penyakit yang bisa menimpa manusia dengan izin Allah Azza wa Jalla . Tidaklah Allah Azza wa Jalla menurunkan satu penyakit melainkan Dia juga menurunkan obat penawarnya. Dan seorang muslim dilarang berobat dengan sesuatu yang diharamkan Allah.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda :
مَا أنْزَلَ اللهُ دَاءً إلا أنْزَلَ لَهُ شِفَاءً
“Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan Allah akan menurunkan pula obat penawarnya”.[7]
Seorang muslim dilarang pergi ke dukun untuk mengobati sihir dengan sihir yang sejenis. Karena hukum mendatangi dukun dan mempercayai mereka adalah kufur. Apatah lagi sampai meminta mereka untuk melakukan sihir demi mengusir sihir yang menimpanya, ataupun untuk menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan jodoh anak dan sanak saudaranya, atau hubungan suami istri dan keluarga, tentang barang yang hilang, percintaan, perselisihan dan sebagainya. Hal itu merupakan perkara ghaib dan hanya Allah Azza wa Jalla saja yang mengetahui. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ أتَى كَاهِنًا أوْ سَاحِرًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَدٍ
“Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang sihir, kemudian ia membenarkan (mempercayai) perkataan mereka, maka sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad”.[8]
Para dukun, paranormal, tukang sihir dan peramal itu hanya mengaku-ngaku mengetahui ilmu ghaib berdasarkan kabar yang dibawa setan yang mencuri dengar dari langit. Para dukun itu, tidak akan sampai pada maksud yang diinginkan kecuali dengan cara berkhidmah, tunduk dan taat serta menyembah tentara iblis tersebut. Ini merupakan perbuatan kufur dan syirik terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَن تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ {212} تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ { 222} يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ
“Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada setiap pendusta lagi banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada setan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta”. [Asy Syu’ara`: 221-223].
Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh tunduk dan percaya kepada dugaan dan asumsi bahwa cara yang dilakukan para dukun itu sebagai pengobatan, misalnya tulisan-tulisan azimat, rajah-rajah, menuangkan cairan yang telah dibaca mantra-mantra syirik dan sebagainya. Semua itu adalah praktek perdukunan dan penipuan terhadap manusia. Barangsiapa yang rela menerima praktek-praktek tersebut tanpa menunjukkan sikap penolakannya, sungguh ia telah ikut tolong-menolong dalam perbuatan bathil dan kufur.[9]
CARA PENECGAHAN DARI SIHIR YANG DIAJARKAN RASULULLAH[10]
1- Dalam setiap keadaan senantiasa mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dan bertawakkal kepadaNya, serta menjauhi perbuatan syirik dengan segala bentuknya. Allah Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ {99} إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ
“Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya. Sesungguhnya kekuasaan setan hanyalah atas orang-orang yang menjadikannya sebagai pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah”. [An Nahl : 99-100].
Ketika Menafsirkan ayat di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata : “Sesungguhnya setan tidak memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi (mengalahkan) orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya semata, yang tidak ada sekutu bagiNya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membela orang-orang mu’min yang bertawakkal kepadaNya dari setiap kejelekan setan, sehingga tidak ada celah sedikitpun bagi setan untuk mencelakakan mereka”[11]. Dan ayat-ayat semisal ini banyak terdapat di dalam Al Qur`an.
2- Melaksanakan setiap kewajiban-kewajiban yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan, dan menjauhi setiap yang dilarang, serta bertaubat dari setiap perbuatan dosa dan kejelekan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu :
يَا غُلاَمُ ! إنِي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ ، احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ…
“Wahai anak, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kalimat. Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu…”[12]
Syaikh Nazhim Muhammad Sulthan menyatakan, makna sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (احْفَظِ اللهَ ) adalah jagalah perintah-perintahNya, larangan-laranganNya, hukum-hukumNya serta hak-hakNya. Caranya, dengan memenuhi apa-apa yang Allah dan RasulNya perintahkan berupa kewajiban-kewajiban, serta menjauhi segala perkara yang dilarang. Sedangkan makna (يَحْفَظْكَ ) ialah, barangsiapa yang menjaga perintah-perintahNya, mengerjakan setiap kewajiban dan menjauhi setiap laranganNya, niscaya Allah k akan menjaganya. Karena balasan suatu amalan, sejenis dengan amal itu sendiri. Penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba meliputi penjagaan terhadap dirinya, anak, keluarga dan hartanya. Juga penjagaan terhadap agama dan imannya dari setiap perkara syubhat yang menyesatkan”.[13]
3. Tidak membiarkan anak-anak berkeliaran saat akan terbenamnya matahari. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Jika malam telah masuk -jika kalian berada di sore hari-, maka tahanlah anak-anak kalian. Sesungguhnya setan berkeliaran pada waktu itu. tatkala malam telah datang sejenak, maka lepaskanlah mereka”. [HR Bukhari Muslim].
4. Membersihkan rumah dari salib, patung-patung dan gambar-gambar yang bernyawa serta anjing. Diriwayatkan dalam sebuah hadits, bahwa Malaikat (rahmat) tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat hal-hal di atas. Demikian juga dibersihkan dari piranti-piranti yang melalaikan, seruling dan musik.
5. Memperbanyak membaca Al Qur`an dan manjadikannya sebagai dzikir harian. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
“Janganlah menjadikan rumah-rumah kalian layaknya kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibaca di dalamnya surat Al Baqarah”.[14]
6. Membentengi diri dengan doa-doa dan ta’awudz serta dzikir-dzikir yang disyariatkan, seperti dzikir pagi dan sore, dzikir-dzikir setelah shalat fardhu, dzikir sebelum dan sesudah bangun tidur, do’a ketika masuk dan keluar rumah, do’a ketika naik kendaraan, do’a ketika masuk dan keluar masjid, do’a ketika masuk dan keluar kamar mandi, do’a ketika melihat orang yang mandapat musibah, serta dzikir-dzikir lainnya.
Ibnul Qayyim berkata,”Sesungguhnya sihir para penyihir itu akan bekerja secara sempurna bila mengenai hati yang lemah, jiwa-jiwa yang penuh dengan syahwat yang senanantiasa bergantung kepada hal-hal rendahan. Oleh sebab itu, umumnya sihir banyak mengenai para wanita, anak-anak, orang-orang bodoh, orang-orang pedalaman, dan orang-orang yang lemah dalam berpegang teguh kepada agama, sikap tawakkal dan tauhid, serta orang-orang yang tidak memiliki bagian sama sekali dari dzikir-dzikir Ilahi, doa-doa, dan ta’awwudzaat nabawiyah.” [15]
7. Memakan tujuh butir kurma ‘ajwah setiap pagi hari. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ تَصَبَّحَ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعَ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً لَمْ يَضُرَّهُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ سُمٌّ وَلَا سِحْرٌ
“Barangsiapa yang makan tujuh butir kurma ‘ajwah pada setiap pagi, maka racun dan sihir tidak akan mampu membahayakannya pada hari itu”. [16]
Dan yang lebih utama, jika kurma yang kita makan itu berasal dari kota Madinah (yakni di antara dua kampung di kota Madinah), sebagaimana disebutkan dalam riwayat Muslim. Syaikh Abdul ’Aziz bin Baz berpendapat, seluruh jenis kurma Madinah memiliki sifat yang disebutkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Namun beliau juga berpendapat, bahwa perlindungan ini juga diharapkan bagi orang yang memakan tujuh butir kurma, selain kurma Madinah secara mutlak.[17]

TERAPI PENGOBATAN SETELAH TERKENA SIHIR [18]

1. Metode pertama : Mengeluarkan dan menggagalkan sihir tersebut jika diketahui tempatnya dengan cara yang dibolehkan syariat. Ini merupakan metode paling ampuh untuk mengobati orang yang terkena sihir.[19]

2. Metode kedua : Dengan membaca ruqyah-ruqyah yang disyariatkan. Para ulama telah bersepakat bolehnya menggunakan ruqyah sebagai pengobatan apabila memenuhi tiga syarat [20].
Pertama : Hendaknya ruqyah tersebut dengan menggunakan Kalamullah (ayat-ayat Al Qur`an), atau dengan Asmaul Husna atau dengan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, atau dengan doa-doa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua : Ruqyah tersebut dengan menggunakan bahasa Arab, atau dengan bahasa selain Arab yang difahami maknanya.
Ketiga : Hendaknya orang yang meruqyah dan yang diruqyah meyakini, bahwa ruqyah tersebut tidak mampu menyembuhkan dengan sendirinya, tetapi dengan kekuasaan Allah Azza wa Jalla. Karena ruqyah hanyalah salah satu sebab di antara sebab-sebab diperolehnya kesembuhan. Dan Allah-lah yang menyembuhkan.
Selain itu, ada hal sangat penting yang juga harus diperhatikan, bahwa ruqyah akan bekerja secara efektif bila orang yang sakit (terkena sihir) dan orang yang mengobati sama-sama memiliki keyakinan yang kuat kepada Allah Azza wa Jalla, bertawakkal kepadaNya semata, bertakwa dan mentauhidkanNya, serta meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa Al Qur`an adalah penyembuh bagi penyakit dan rahmat bagi orang-orang beriman. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka ruqyah tersebut tidak akan berefek kepada penyakitnya, karena ruqyah itu sendiri merupakan obat mujarab yang diajarkan oleh syari’at. Namun ibarat senjata, setajam apapun ia, jika berada di tangan orang yang tidak lihai menggunakannya, maka senjata itu tidak banyak manfaatnya.[21]
Dikatakan oleh Ibnu At Tiin: “Ruqyah dengan membaca mu’awwidzat atau dengan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan pengobatan rohani, (akan bekerja efektif) bila di baca oleh hambaNya yang shalih; kesembuhan pun akan diperoleh dengan izin Allah Azza wa Jalla “.
Diantara bentuk pengobatan yang termasuk metode kedua ini ialah sebagai berikut:
– Membaca surat Al Fatihah, ayat kursi, dua ayat terakhir surat Al Baqarah, surat Al Ikhlash, An Naas dan Al Falaq sebanyak tiga kali atau lebih dengan mengangkat tangan, tiupkan ke kedua tangan tersebut seusai membaca ayat-ayat tadi, kemudian usapkan ke bagian tubuh yang sakit dengan tangan kanan.[23]
– Membaca ta’awwudz (doa perlindungan diri) dan ruqyah-ruqyah untuk mengobati sihir, di antaranya sebagai berikut:[24]
a. أسْألُ اللهَ العَظِيْمَ رَبَّ العَرْشِ العَظِيْمِ أنْ يَشْفِيَكَ
“Aku mohon kepada Allah Yang Maha Agung Pemilik ‘Arsy yang agung agar menyembuhkanmu (dibaca sebanyak tujuh kali)”.[25]
b. Orang yang terkena sihir meletakkan tangannya pada bagian tubuh yang terasa sakit, kemudian membaca: (بِسْمِ الله) sebanyak tiga kali lalu membaca :
أعُوذُ بِالله وَ قُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أجِدُ وَ أحَاذِرُ
“Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari setiap kejelekan yang aku jumpai dan aku takuti”. [26]
c. Mengusap bagian tubuh yang sakit sambil membaca doa :
اللهَُّمَ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَأْسَ وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا
“Ya Allah, Rabb Pemelihara manusia, hilangkanlah penyakitku dan sembuhkanlah, Engkau-lah Yang Menyembuhkan, tiada kesembuhan melainkan kesembuhan dariMu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.[27]
d. Membaca doa:
أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَ عِقَابِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ وَأَنْ يَحْضُرُونِ
“Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kemarahanNya, dari kejahatan hamba-hambaNya, dan dari bisikan-bisikan setan dan dari kedatangan mereka kepadaku.
3. Metode ketiga : Mengeluarkan sihir tersebut dengan melakukan pembekaman pada bagian tubuh yang terlihat bekas sihir, jika hal itu memang memungkinkan. Bila tidak memungkinkan, maka ruqyah-ruqyah di atas telah mencukupi untuk mengobati sihir.
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan rahasia pembekaman di bagian yang terkena sihir ini. Bahwa sihir itu tersusun dari pengaruh ruh-ruh jahat dan adanya respon kekuatan alami yang lahir dari ruh jahat tersebut. Inilah jenis sihir yang paling kuat, terutama pada bagian tubuh yang menjadi pusat persemayaman sihir tadi. Maka pembekaman pada bagian tersebut merupakan metode pengobatan yang sangat efektif bila dilakukan sesuai dengan cara yang tepat.[29]
4. Metode keempat : Dengan menggunakan obat-obatan alami sebagaimana disebutkan Al Qur’an dan As Sunnah, dengan disertai keyakinan penuh terhadap kebenaran firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkannya. Di antaranya dengan menggunakan madu, habbahtus sauda` (jinten hitam), air zam-zam, minyak zaitun dan obat-obatan lainnya yang dibenarkan syara’ sebagai obat. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الشِّفَاءُ فِي ثَلَاثَةٍ شَرْبَةِ عَسَلٍ وَشَرْطَةِ مِحْجَمٍ وَكَيَّةِ نَارٍ وَأَنْهَى أُمَّتِي عَنْ الْكَيِّ
“Pengobatan itu ada dalam tiga hal. (Yaitu): berbekam, minum madu dan pengobatan dengan kay (besi panas). Sedangkan aku melarang umatku menggunakan pengobatan dengan kay”.[30
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ia mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ هَذِهِ الْحَبَّةَ السَّوْدَاءَ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلَّا مِنْ السَّامِ قُلْتُ وَمَا السَّامُ قَالَ الْمَوْتُ
“Sesungguhnya habbah sauda’ ini merupakan obat bagi segala jenis penyakit, kecuali as saam”. Aku (‘Aisyah) bertanya,”Apakah as saam itu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Kematian.” [31]
Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu, ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ماَءُ زَمْزَمَ لِمَا شُرِبَ لَهُ
“Air zam-zam itu tergantung niat orang yang meminumnya”. [32]

Dari Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
كُلُوا الزَّيْتَ وَادَّهِنُوا بِهِ فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ
“Makanlah minyak zaitun dan minyakilah rambut kalian dengannya, karena sesungguhnya ia berasal dari pohon yang diberkahi”.[33]
Demikianlah sekilas pembahasan tentang sihir berikut cara mencegah dan mengobatinya. Selayaknya bagi setiap pribadi muslim, terutama para pemimpin keluarga, untuk mengetahui hal ini dan mengajarkan kepada keluarganya. Agar anggota keluarga mampu membentengi diri dari kejahatan sihir. Selayaknya pula bagi pemimpin keluarga, untuk mengkondisikan keluarganya agar senantiasa taat kepada Allah Sang Pemelihara manusia. Membersihkan rumahnya serta menyingkirkan sejauh-jauhnya dari segala sarana yang mengundang kemaksiatan, seperti musik, majalah-majalah porno, gambar makhluk hidup dan sebagainya. Agar keluarganya mendapat curahan rahmat dan perlindungan dari Allah, terjauhkan dari gangguan iblis dan bala tentaranya. Wallahu waliyyut taufiiq. (Hanin Ummu Abdillah)
Maraji :
1. Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Zaadul Ma’ad, tahqiq dan takhrij Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arnauth, Mu’assasah Ar Risaalah, Cet. III, Th. 1421H/200M.
2. Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani, Ad Du’a Min Al Kitab Wa As Sunnah Wa Yalihi Al ‘Ilaj Bi Ar Ruqaa Min Al Kitab Wa As Sunnah.
3. Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, Fathul Majid Syarhu Kitabit Tauhid, tahqiq Muhammad Hamid Al Faqi, ta’liq Abdullah bin Baz, dan takhrij Ali bin Sinan, Darul Fikr, Th. 1412H/1992M.
4. Shahih Al Bukhari bersama Fathul Bari.
5. Shahih Muslim.
6. Sunan Abu Dawud.
7. Jami’ At Tirmidzi.
8. Sunan Ibnu Majah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06//Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Fathul Majid, tahqiq Muhammad Hamid Al Faqi, ta’liq Abdullah bin Baaz, dan takhrij Ali bin Sinan, hlm. 235.
[2]. Fathul Majid, tahqiq Muhammad Hamid Al Faqi, ta’liq Abdullah bin Baaz, dan takhrij Ali bin Sinan, hlm. 235
[3]. HR Al Bukhari, kitab Ath Thibb, Bab Hal Yastakhriju As Sihr, hadits no. 3175 (mu’allaq), 3268, 5763, 5765, 5766, 6063, 6391, dan Muslim, kitab As Salam, Bab As Sihr, hadits no. 2189.
[4]. Zaadul Ma’ad (4/114), tahqiq dan takhrij Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arnauth.
[5]. Al Qaulus Sadid, hlm. 93-94.
[6]. Lihat penjelasannya dalam Fathul Majid, Bab “Maa Ja`a fi As Sihr”.
[7]. HR Bukhari, kitab Ath Thibb, Bab Maa Anzalallahu Da’an Illa Anzala Lahu Syifa’an, hadits no. 5678.
[8]. Syaikh Ali bin Sinan berkata,”Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bazaar (2067, Kasyful Astaar).” Al Mundziri berkata dalam At Targhiib (4/36): “Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bazaar dan Abu Ya’la dengan sanad jayyid mauquf”. Sedangkan Al Hafizh berkata dalam Al Fath (10/216): ”Sanad hadits ini jayyid”. Lihat Fathul Majid, tahqiq Muhammad Hamid Al Faqi dengan takhrij Ali bin Sinan, hlm. 356.
[9]. Lihat penjelasannya dalam Risalah Fi Hukmi As Sihr Wal Kahanah, karya Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz.
[10]. Zaadul Ma’ad (4/ 114-117), tahqiq dan takhrij Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arnauth; dan Ad Du’a Min Al Kitab Wa As Sunnah Wa Yaliihi Al ‘Ilaj Bi Ar Ruqa Min Al Kitab Wa As Sunnah, karya Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani, hlm. 85-89.
[11]. Taisir Karimir Rahman (1/1142) dengan ringkas.
[12]. HR Tirmidzi kitab Shifatil Qiyamah, hadits no. 2516.
[13]. Qawaid Wa Fawaid Min Al Arba’in An Nawawiyah, hlm.170-171 dengan ringkas.
[14]. HR Muslim, kitab Shalatil Musafirina Wa Qasriha, Bab Istihbabi Shalatin Nafilati Fi Baitihi Wa Jawaziha Fil Masjid, hadits no. 780.
[15]. Zaadul Ma’ad (4/116), tahqiq dan takhrij Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arnauth.
[16]. HR Bukhari, hadits no. 5445, 5768, 5769, 5779; dan Muslim, hadits no.2047.
[17]. Ad Du’a Min Al Kitab Wa As Sunnah, hlm. 89.
[18]. Ibid, hlm. 90-104.
[19]. Zaadul Ma’ad (4/114), tahqiq dan takhrij Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arnauth.
[20]. Fathul Baari (10/195).
[21]. Ad Du’a Min Al Kitab Wa As Sunnah, hlm. 80-82 dengan ringkas.
[22]. Fathul Baari (10/196).
[23]. HR Bukhari, 5735) -Fathul Baari (9/62) dan (10/208); Muslim, hadits no.2192.
[24]. Lihat secara lebih detail dalam Ad Du’a Min Al Kitab Wa As Sunnah, hlm. 92-101.
[25]. HR Abu Dawud, hadits no. 3106 dan At Tirmidzi, hadits no. 2083.
[26]. HR Muslim, no.2202 (67).
[27]. HR Al Bukhari, no. 5743, 5744, 5750 dan Muslim, no. 2191 (46-49).
[28]. HR Abu Dawud, hadits no. 3893 dan At Tirmidzi, no. 3528
[29]. Zaadul Ma’ad (4/115).
[30]. HR Bukhari, hadits no.5680 dan 5681- Al Fath (10/137).
[31]. HR Bukhari, hadits no. 5687 dan 5688; Muslim, hadits no. 2215.
[32]. HR Ibnu Majah, hadits no. 3062.
[33]. HR At Tirmidzi, hadits no. 1851 dan Ibnu Majah, hadits no. 3319




Sumber: disini

Ilmu Perdukunan Dalam Islam


Para pembaca yang dirahmati Allâh Azza wa Jalla ! Semoga kita senantiasa diberi taufiq oleh Allâh untuk mempelari dan mengamalkan agama yang kita cintai ini. Shalawat dan salam kita ucapkan untuk nabi yang paling mulia, yaitu nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, termasuk untuk keluarga dan para sahabat beliau, serta orang-orang yang setia mengikuti ajaran beliau sampai akhir zaman.

Para pembaca yang budiman! Berikut ini kita akan membahas tentang topik ilmu perdukunan dalam tinjauan Islam. Sisi-sisi pembahasan meliputi:

1. Hakikat dukun dan perdukunan.
2. Perdukunan dahulu dan sekarang.
3. Hukum pedukunan dalam Islam.
4. Cara menangkal perdukunan.


Hal yang melatarbelakangi pembahasan ini antara lain adalah:

Pertama, sebagian kaum Mmuslimin banyak terjebak dengan perdukunan, baik yang sakit maupun yang sehat, yang miskin maupun yang kaya, yang sukses maupun yang gagal, orang berpangkat maupun orang biasa, pejabat maupun rakyat jelata.


Kedua, tersebarnya perdukunan berkedok Islami, yang menambah persoalan ini semakin runyam di tengah masyarakat. Betapa banyak orang tertipu dengan secarik surban yang bertonggok di kepala sang dukun, kemudian ditambah tasbih yang melingkat di leher atau yang dalam genggaman tangan. Sekedar bermodalkan surban dan tasbih, sang dukun menjadi kepercayaan sebagian masyarakat yang kurang ilmu dan iman.

Ketiga, sangat sedikit kaum Muslimin yang mengetahui solusi cara menangkal perdukunan, alih-alih mereka melawan perdukunan dengan perdukunan pula. Maka dalam bahasan ini kita mencoba memberikan solusi syar’i dalam menangkal perdukunan tersebut.

HAKIKAT DUKUN DAN PERDUKUNAN


Ada beberapa istilah yang memiliki konotasi dengan perdukunan. Terkadang istilah tersebut dipakai untuk makna yang sama, namun sering kali dipakai dalam makna berbeda. Istilah tersebut ialah: kâhin (dukun), ‘arrâf (peramal), rammal (tukang tenung), munajjim (ahli nujum), sâhir (ahli sihir) dan hipnotis.


Pemakaian istilah tersebut dalam makna yang sama lantaran kesamannya dalam beberapa hal. Pertama, dari sisi pengakuan mengetahui hal-hal yang ghaib. Kedua, dalam sisi penerimaan info tentang hal yang ghaib tersebut dengan mempergunakan bantuan setan atau Jin.

Adapun pengunaannya untuk makna yang berbeda, hal ini lebih ditentukan oleh asal kalimat tersebut secara etimologi, serta proses dan cara yang digunakan oleh si pelaku dalam praktek perdukunannya. Misalnya ada dengan cara mantra-mantra, atau dengan cara memakai alat bantu seperti huruf-huruf abjadiyah, melihat garis-garis yang ada pada telapak tangan, atau peredaran bintang, atau menulis dengan tongkat di pasir, dan sebagainya.

Ada dua kalimat yang sangat dekat maknanya dari istilah-istilah yang sebutkan di atas, yaitu: kâhin (dukun) dan ‘arrâf (peramal). Berikut ini beberapa penjelasan ulama tentang makna dua kalimat tersebut.

Pertama : Makna Kâhin.

Syaikh Shâlih Fauzan hafizhâhullah menjelaskan,[1] kâhin (dukun) adalah orang yang mengaku mengetahui tentang hal-hal ghaib pada masa yang akan datang dengan cara melalui setan (Jin). Yaitu setan (Jin) tersebut memberitakan sesuatu yang tidak diketahui oleh manusia. Karena setan bisa dapat mengetahui sesuatu yang susah untuk diketahui manusia. Setan (Jin) ini memberitahu manusia dengan imbalan atau syarat manusia itu mau tunduk kepadanya. Sehingga manusia melakukan hal-hal kesyirikan dan kekufuran kepada Allâh Azza wa Jalla . Mereka berusaha mendekatkan diri kepada setan (Jin) tersebut. Apabila manusia sudah mau tunduk kepada setan (Jin) sesuai permintaan mereka, maka setan akan membantu mereka untuk mengetahui hal-hal yang ghaib.

Kemudian Syaikh Shâlih Fauzan menyebutkan pendapat lain tentang arti dari kâhin (dukun), adalah orang yang mengaku mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati. Padahal tidak ada yang mengetahui apa yang ada dalam hati seseorang kecuali Allâh Azza wa Jalla , akan tetapi setan bisa mengetahui perkataan hati seseorang melalui bisikan-bisikan yang dilakukan setan kepadanya. Karena setan berjalan dalam diri manusia seperti mengalirnya darah dalam tubuh manusia. Maka setan dapat mengetahui tentang seseorang hal yang tidak bisa diketahui oleh orang lain.[2]

Kedua : Makna ‘Arrâf.

Adapun arti ‘arrâf (peramal) menurut Imam Baghawi rahimahullah, adalah orang yang mengaku mengetahui peristiwa dengan cara-cara tertentu untuk mengetahui tempat barang yang dicuri, tempat barang yang hilang dan semisalnya.[3] Sedangkan menurut Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah, ‘arrâf (peramal) adalah nama untuk dukun, ahli nujum dan rammal (tukang tenung).[4]


Syaikh Shâlih Fauzan menjelaskan perkara orang yang mengaku mengetahui peristiwa dengan cara-cara tertentu untuk mengetahui barang yang dicuri, tempat barang hilang dan semisalnya melalui setan (jin). Setan memang memungkinkan untuk melakukan hal tersebut. Pada zhahirnya sang peramal akan terlihat melakukan sesuatu yang biasa menurut banyak orang, akan tetapi itu hanya sebagai kedok belaka. Pada hakikatnya ia bekerjasama dengan setan. Kalau tidak, darimana ia dapat megetahui tentang dimana tempat benda yang dicuri atau benda yang hilang? Kalau bukan dengan cara bekerjasama dengan setan (Jin).

Berikutnya Syaikh Shâlih Fauzan menyebutkan pendapat lain tentang arti ‘arrâf (peramal), bahwa artinya sama dengan kâhin (dukun). Karena keduanya sama-sama mengaku mengetahui perkara-perkara ghaib melalui perantara setan (Jin). Keduanya sama-sama merupakan anak buah setan. Walaupun berbeda dari segi nama, namun memiliki arti dan profesi sama, yaitu sama-sama mengaku mengetahui hal-hal yang ghaib.[5]
Kesimpulan

Syaikh Shâlih Âlu Syaikh berusaha menyimpulkan pandangan ulama tentang makna kâhin dan ‘arrâf sebagaimana berikut.


Pendapat pertama, kâhin adalah orang yang mengaku mengetahui perkara ghaib yang akan datang berkerjasama dengan setan. Dan ‘arrâf adalah orang yang mengaku mengetahui perkara ghaib yang tersembunyi dan tidak terlihat oleh manusia juga berkerjasama dengan setan.

Pendapat kedua, kâhin lebih bersifat umum, sedangkan ‘arrâf lebih bersifat khusus. Kâhin termasuk didalamnya adalah setiap orang yang mengaku mengetahui perkara ghaib yang akan datang maupun yang telah berlalu yang tidak diketahui oleh manusia. Juga termasuk didalamnya adalah ahli nujum dan semacamnya. Seperti tukang tenung, mengundi nasib melalui huruf abjadiyah, melalui biji-biji tasbih, melalui mengukir di pasir dan sebagainya. Dan bahkan sebagian ulama kontemporer mengatakan bahwa ilmu hipnotis termasuk di dalamnya [6].

CARA JIN MENDAPATKAN BERITA GHAIB DAN BEKERJA SAMA DENGAN DUKUN


Terjalinya kerja sama antara jin dan dukun tentu memiliki kensekwensi dan komitmen yang mesti dipenuhi oleh kedua belah pihak. Di antara bentuk komitmen dan kensekwensi tersebut, sang dukun harus menuruti persyaratan yang diminta oleh Jin. Setelah hal itu dilakukan sang dukun maka kemudian jin membantu sang duku dalam praktek profesinya sebagai dukun. Biasanya persyaratan itu tidak rumit, cukup melakukan salah satu bentuk kesyirikan atau kekufuran saja, meskipun sang dukun tetap melakukan amalan ibadah yang zhahir seperti shalat, puasa dan lain sebagainya. Dan kadang kala yang menjadi persyaratan itu melakukan ibadah yang menyelisihi Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga dengan demikian, tanpa disadari sang dukun terjebak dalam sebuah dosa yang selalu dilakukan dalam hidupnya. Dia tidak menyadari itu sebagai sebuah dosa dan kesalahan. Yang lebih populer dalam istilah ulama, yaitu amalan-amalan bid’ah.


Ketika telah terjalin kerjasama yang erat, maka jin berupaya membantu sang dukun dalam mengetahui berita-berita ghaib. Bagaimana cara jin mendapatkan berita-berita ghaib tersebut? Jawabannya terdapat pada hadits berikut ini:
عن أبي هريرة رَضِيَ اللهُ عَنْهَ إن نبي الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: ((إِذَا قَضَى اللَّهُ الْأَمْرَ فِي السَّمَاءِ ضَرَبَتْ الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خُضْعَانًا لِقَوْلِهِ كَأَنَّهُ سِلْسِلَةٌ عَلَى صَفْوَانٍ فَإِذَا { فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا } لِلَّذِي قَالَ { الْحَقَّ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ } فَيَسْمَعُهَا مُسْتَرِقُ السَّمْعِ وَمُسْتَرِقُ السَّمْعِ هَكَذَا بَعْضُهُ فَوْقَ بَعْضٍ -وَوَصَفَ سُفْيَانُ بِكَفِّهِ فَحَرَفَهَا وَبَدَّدَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ- فَيَسْمَعُ الْكَلِمَةَ فَيُلْقِيهَا إِلَى مَنْ تَحْتَهُ ثُمَّ يُلْقِيهَا الْآخَرُ إِلَى مَنْ تَحْتَهُ حَتَّى يُلْقِيَهَا عَلَى لِسَانِ السَّاحِرِ أَوْ الْكَاهِنِ فَرُبَّمَا أَدْرَكَ الشِّهَابُ قَبْلَ أَنْ يُلْقِيَهَا وَرُبَّمَا أَلْقَاهَا قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُ فَيَكْذِبُ مَعَهَا مِائَةَ كَذْبَةٍ فَيُقَالُ أَلَيْسَ قَدْ قَالَ لَنَا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا فَيُصَدَّقُ بِتِلْكَ الْكَلِمَةِ الَّتِي سَمِعَ مِنْ السَّمَاءِ)). رواه البخاري
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila Allâh memutuskan sebuah perintah di langit, para malaikat menundukkan sayap-sayap mereka dengan penuh takut, bagaikan suara rantai yang ditarik di atas batu putih. Apabila telah hilang rasa takut dari hati mereka, mereka bertanya: ‘Apa yang dikatakakan oleh Tuhan kalian?’ Jibril menjawab: ‘Tentang kebenaran dan Ia Maha Tinggi lagi Maha Besar’. Lalu para pencuri berita langit (setan) mendengarnya. Mereka para pencuri berita langit tersebut seperti ini, sebahagian mereka di atas sebagian yang lain -Sufyan (rawi hadits) mencontohkan dengan jari-jarinya- maka yang paling di atas mendengar sebuah kalimat lalu membisikannya kepada yang di bawahnya, kemudian selanjutnya ia membisikan lagi kepada yang di bawahnya dan begitu seterusnya sampai ia membisikannya kepada tukang sihir atau dukun. Kadang-kadang ia disambar oleh bintang berapi sebelum menyampaikannya atau ia telah menyampaikannya sebelum ia disambar oleh bintang berapi. Maka setan mencampur berita tersebut dengan seratus kebohongan. Maka dikatakan orang: bukan ia telah berkata kepada kita pada hari ini dan ini… maka ia dipercaya karena satu kalimat yang pernah ia dengan langit tersebut’.”[7]

Dalam hadits di atas ada berapa point yang dapat kita jelaskan.


Pertama, dalam hadits tersebut diterangkan bagaimana proses jin dalam mencari berita-berita ghaib. Yaitu dengan bertengger satu di atas yang lainnya seperti pertunjukkan orang memanjat pinang atau seperti seni olah raga yang dilakukan di sekolah-sekolah. Yaitu dengan cara lima orang di bawah, lalu pada tingkat kedua naik empat orang, kemudian pada tingkat berikut tiga orang, dan begitu seterusnya.


Kedua, berita ghaib yang mereka dapatkan itu berasal dari perkataan Allâh Subhanahu wa Ta’ala kepada para malaikat untuk melakukan tugas tertentu, lalu para malaikat saling berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya. Melalui percakapan malaikat tersebut, jin mencuri dengar dan menyampaikannya kepada mitranya dari kalangan dukun.

Ketiga, bahwa para jin tidak senantiasa dapat mencuri berita langit tersebut karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjadikan sebagian bintang untuk melempar mereka yang berusaha mencuri dengar berita langit tersebut.

Keempat, jika jin selamat dari lemparan bintang yang berapi, barulah mereka berhasil mencuri satu kalimat dari berita langit. Artinya, jin tidak mengetahui secara detail atau seutuhnya tentang berita langit tersebut. Lalu berita tersebut mereka campur dengan seratus kedustaan.

Kelima, bahwa sebab adanya manusia yang mempercayai dukun adalah gara-gara tidak melihat kebohongan jin dan hanya mengingat satu kalimat yang terdapat seratus kebohongan. Lalu kalimat yang satu tersebut diekspos kemana-mana, namun tidak mengekspos kebohongannya yang begitu banyak.


Dalam hadits yang lain Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَاسٌ عَنْ الْكُهَّانِ فَقَالَ لَيْسَ بِشَيْءٍ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَا أَحْيَانًا بِشَيْءٍ فَيَكُونُ حَقًّا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِلْكَ الْكَلِمَةُ مِنْ الْحَقِّ يَخْطَفُهَا مِنْ الْجِنِّيِّ فَيَقُرُّهَا فِي أُذُنِ وَلِيِّهِ فَيَخْلِطُونَ مَعَهَا مِائَةَ كَذْبَةٍ -رواه البخاري
Diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu anha, saat para sahabat bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang dukun. Jawab beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak perlu percaya,” lalu sahabat bertanya lagi: “Wahai, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sesungguhnya mereka kadang-kadang memberitahu kita sesuatu yang benar terbukti?” Jawab Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Itu adalah sebuah kalimat yang benar yang dicuri oleh Jin, lalu ia bisikkan ke telinga pembantunya (dukun), kemudian ia campur dengan seratus kebohongan”.[8]

Dalam lafazh yang lain berbunyi:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَنْزِلُ فِي الْعَنَانِ وَهُوَ السَّحَابُ فَتَذْكُرُ الْأَمْرَ قُضِيَ فِي السَّمَاءِ فَتَسْتَرِقُ الشَّيَاطِينُ السَّمْعَ فَتَسْمَعُهُ فَتُوحِيهِ إِلَى الْكُهَّانِ فَيَكْذِبُونَ مَعَهَا مِائَةَ كَذْبَةٍ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ- رواه البخاري
Dari Aisyah Radhiyallahu anha, bahwa ia mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya malaikat turun ke awan, mereka menceritakan tentang urusan yang telah diputuskan Allâh di langit. Kemudian setan-setan mencuri dengar lalu mereka mendengar urusan tersebut, setelah itu mereka sampaikan kepada para dukun. Mereka mencampurinya dengan seratus kebohongan dari diri mereka sendiri”.[9]

Dalam hadits ini juga terdapat penjelasan bahwa yang dikatakan sang dukun bisa saja terbukti, namun bila dibanding dengan kebohongannya sungguh lebih banyak, yaitu satu berbanding seratus. Adapun kebenaran yang pernah terbukti dalam perkataan dukun tidak bisa dijadikan alasan untuk menerima dan mempercayai semua berita yang dikatakannya. Karena kalau semua perkataannya bohong pasti tidak ada yang percaya dukun. Beginilah cara setan melakukan tipu dayanya untuk menyesatkan manusia. Yaitu dengan menyamarkan antara yang hak dengan yang batil, antara yang benar dengan yang salah.

PERDUKUNAN DAHULU DAN SEKARANG


Berikut ini penjelasan sekilas tentang sisi-sisi kesamaan dan perbedaan antara dukun zaman dulu dan zaman moderen sekarang ini.

Perdukunan Zaman Dulu


Pada zaman dulu para dukun lebih banyak beroperasi di daerah pedalaman yang minim ilmu pengetahuan serta kurangnya pusat pelayanan kesehatan masyarakat. Umumnya masyarakat yang mendatangi dukun adalah golongan yang tidak berilmu dan bertempat tinggal jauh dari pusat pelayanan kesehatan medis atau kurangnya biaya untuk berobat ke pusat kesehatan. Tujuan mendatangi dukun terbatas pada urusan tertentu saja, seperti berobat atau minta ilmu tangkal dan pelet.


Dukun pada zaman dulu amat mudah dikenal oleh masyarakat melalui penampilannya secara fisik atau zhahir. Mereka tidak telalu antusias untuk mendapatkan harta dari para pasiennya. Pemberian atau imbalan yang mereka terima sangat sederhana. Bahkan kadangkala hanya menerima sebatang rokok atau uang sekedarnya tanpa ada tarif tertentu.

Dukun zaman dulu tidak menjadikan profesi perdukunan sebagai sumber mata pencarian atau penghasilan pokok untuk biaya kehidupan sehari-hari. Disamping itu, mereka sangat memperhatikan norma-norma adat dan nilai-nilai kesusilaan dalam praktek perdukunanya, dan tidak menyamar dalam prateknya sebagai seorang yang shalih.

Perdukunan Zaman Sekarang



Dukun zaman moderen melakukan prakteknya di kota-kota besar, bahkan membuka pusat perdukunannya dengan izin resmi. Ilmu perdukunan mereka didukung oleh ilmu pengetahuan moderen. Para pasienya orang-orang yang berpendidikan dan memiliki kemampuan ekonomi menengah ke atas. Tujuan mendatangi dukun tidak terbatas pada urusan klasik, seperti urusan untuk berobat, akan tetapi lebih meluas lagi hingga ke dalam masalah profesi dan pekerjaan yang sedang mereka geluti. Ada yang mendatangi dukun untuk mendongkrak kepopuleran, untuk menjadi lebih cantik, agar menang dalam pilkada, agar bisa bertahan dalam posisi jabatan yang sedang dipegang, atau naik ke tingkat yang lebih tinggi dan sebagainya.


Dukun zaman moderen amat sulit untuk dikenal sebagai dukun secara fisik maupun zhahirnya, karena bernampilan rapi dan mungkin menaiki kendaraan mewah serta berteman dengan orang-orang terpandang. Dalam prakteknya, dukun zaman moderen menetapkan tarif tertentu, mungkin bisa mencapai jutaan rupiah. Perdukunan pada zaman moderen menjadi sebuah profesi resmi, sebagai sumber mata pencaharian atau penghasilan pokok untuk biaya kehidupan sehari-hari. Para dukun zaman moderen lebih gila dan lebih bejat, tidak lagi memperhatikan norma-norma adat dan nilai-nilai kesusilaan dalam praktek perdukunanya. Mereka kadangkala mencabuli para pasiennya, bahkan mungkin meminta untuk mensetubuhi isteri pasiennya sampai menikahi gadis-gadis tanpa batas. Disamping itu, dalam prakteknya mereka menyamar sebagai seorang yang shâlih, dan mungkin mengaku sebagai seorang wali, habib atau mengaku keturunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

HUKUM PERDUKUNAN DALAM ISLAM


Berikut ini beberapa dalil yang menjelaskan tentang hukum perdukunan dalam Islam. Perdukunan bukanlah sesuatu yang baru dalam kehidupan manusia, ia sudah ada jauh sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyanggah tuduhan orang-orang kafir Quraisy terhadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فَذَكِّرْ فَمَا أَنْتَ بِنِعْمَتِ رَبِّكَ بِكَاهِنٍ وَلَا مَجْنُونٍ
Maka tetaplah memberi peringatan, dengan sebab nikmat Rabb-mu engkau bukanlah seorang dukun dan bukan pula seorang gila. [ath-Thûr/52:29].

Dalam ayat ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala membantah tuduhan bohong kaum musyrikin terhadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia seorang dukun (tukang tenung) atau orang gila. Karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada mereka tentang hal-hal yang akan datang pada hari kiamat melalui perantaraan wahyu yang diwahyukan Allâh Azza wa Jalla kepadanya. Mereka ingin menyamakan antara seorang nabi dengan seorang dukun yang suka meramal kejadian-kejadian yang akan datang, sebagai alasan untuk menolak ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Dari ayat di atas juga dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang memberitakan kabar yang akan datang itu ada tiga jenis.
Pertama, seorang nabi yang mendapat wahyu dari Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman:
ذَٰلِكَ مِنْ أَنْبَاءِ الْغَيْبِ نُوحِيهِ إِلَيْكَ
Demikianlah dari berita-berita ghaib yang Kami (Allâh) wahyukan kepadamu. [Ali Imran/3:44].

Kedua, dukun, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas tentang hakikatnya.

Ketiga, orang gila yang berbicara di luar kesadaran.


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menperingatkan umatnya untuk tidak mendatangi dan mempercayai dukun ataupun membuka praktek perdukunan. Berikut ini beberapa hadits berkenaan dengan hal tersebut.

1. Larangan tentang mendatangi dukun.

Telah ditegaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِىِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُمُورًا كُنَّا نَصْنَعُهَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ كُنَّا نَأْتِى الْكُهَّانَ. قَالَ «فَلاَ تَأْتُوا الْكُهَّانَ». رواه مسلم
Dari Mu’awiyah bin Hakam Radhiyallahu anhu, ia berkata kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Ada beberapa hal yang biasa kami lakukan pada masa jahiliyah, kami terbiasa datang ke dukun?” Jawab Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Jangan kalian datang ke dukun”.[10].

2. Larangan bertanya kepada dukun.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ « مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ». رواه مسلم
Diriwayatkan lagi oleh sebagian isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang mendatangi tukang tenung untuk bertanya tentang sesuatu, maka tidak diterima darinya shalat selama empat puluh malam”.[11]

Dalam hadits ini dijelaskan tentang besarnya dosa mendatangi dukun untuk sekedar bertanya tentang sesuatu, menyebabkan pahala amalan shalatnya selama empat puluh malam atau hari hilang. Ini menunjukkan betapa besar dosa mendatangi dukun.
3. Larangan mempercayai dukun.

Dalam sebuah hadits dijelaskan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang mendatangi dukun lalu mempercayainya, sungguh ia telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam “.[12]
Dalam hadits di atas Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membed
akan antara hukum mendatangi dukun dengan hukum mempercayainya. Hukum mendatangi dukun berisiko tidak diterima shalat bagi pelakunya selama empat puluh hari. Adapun hukum mempercayai perkataan dukun tentang hal yang ghaib berisiko membuat seseorang tersebut telah terjatuh kepada perbuatan kufur, meskipun Ulama berbeda pendapat tentang maksud kata kufur tersebut. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah kufur akbar (besar). Namun sebagian mereka berpendapat bahwa yang dimaksud adalah kufur asghar (kecil). Sebagian lagi lebih memilih tidak merinci kepada akbar maupun asghar, karena konteksnya berbicara tentang ancaman.[13]

Sebahagian Ulama mengomentari tentang ancaman yang terdapat dalam hadits di atas.[14 Jika demikian ancaman bagi orang yang mendatangi dan mempercayai dukun, bagaimana dengan si dukun itu sendiri ? Tentu ancaman dan adzabnya lebih berat lagi.

4. Larangan meminta perdukunan dan membuka praktek perdukunan.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ليس منَّا من تَكَهَّنَ أو تُكُهِّنَ له رواه الطبراني وصححه الألباني في “السلسلة الصحيحة”
Bukanlah termasuk golongan kami orang yang mencari perdukunan atau melakukan perdukunan.[15]
Sangat jelas dalam hadits ini Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang yang meminta bantuan dukun atau memberi bantuan perdukunan.

5. Hukum harta hasil perdukunan.

Berikut ini hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang hukum harta yang diperoleh melalui praktek perdukunan :

عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ الأَنْصَارِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِىِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ متفق عليه
Dari Abu Mas’ud Radhiyallahu anhu , bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang (memakan) hasil jual anjing, upah pelacur dan upah dukun”.[16]

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan,[17] “Ketahuilah bahwa perdukunan, mendatangi dukun, mempelajari perdukunan, ilmu nujum, meramal dengan pasir, gandum dan batu kerikil, termasuk mengajarkan semua hal ini adalah haram dan mengambil upah atasnya juga haram berdasarkan dalil yang shahîh”.

Dikisahkan dalam sebuah riwayat bahwa Abu Bakar ash-Shidiq Radhiyallahu anhu pernah diberi makanan oleh hamba sahayanya. Setelah makanan itu ditelan Abu Bakar ash-Shidîq Radhiyallahu anhu, hamba sahaya tersebut bertanya kepadanya, “Tahukah Anda dari mana makanan ini?” Abu Bakar menjawab, “Tidak!” Jawab hamba sahaya, “Dulu semasa jahiliyah aku pernah berpura-pura jadi dukun, lalu ini upahnya,” maka Abu Bakar Radhiyallahu anhu memasukkan anak jarinya ke kerongkongannya hingga ia memuntahkan apa yang ada dalam perutnya.[18]

Adapun sisi-sisi kemungkaran yang dilakukan oleh para dukun, secara ringkas ada tiga jenis.

1. Mengaku mengetahui hal-hal yang ghaib, hal ini adalah syirik dalam tauhid rububiyyah, karena mengaku dapat mengetahui hal-hal yang ghaib. Padahal ini adalah kekhususan bagi Allâh semata, sebagaimana dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ
Katakanlah, “Tiada seorang pun di langit maupun di bumi yang dapat mengetahui yang ghaib kecuali Allâh”. [an-Naml/27:65].
2. Bermitra dengan jin atau setan. Kerjasama ini memiliki konsekwensi agar seseorang tersebut memberikan sebagian ketaatan kepada jin atau setan. Hal ini adalah syirik dalam tauhid ulûhiyyah.
3. Telah berbuat kebohongan di tengah-tengah masyarakat dan memakan harta mereka dengan cara batil atau haram.

BAGAIMANA CARA MENANGKAL PERDUKUNAN?


Tidak diragukan lagi bahwa cara paling ampuh untuk menangkal perdukunan adalah dengan banyak berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla . Terutama do’a dan dzikir yang diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kita baca pada pagi dan sore hari. Demikian pula dzikir dan do’a yang berhubungan dengan berbagai aktifitas sehari-hari.

Berikut ini beberapa dalil yang menerangkan keutamaan beberapa dzikir yang dapat menangkal perdukunan atau gangguan setan.

1. Membaca ayat Kursy pada pagi dan sore, setiap selesai sholat fardhu dan saat akan tidur.

Hal ini dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hadits. Diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu tentang kisah ketika Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ditugaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjaga zakat fitrah. Di akhir kisah tersebut setan membongkar rahasia yang dapat menyelamatkan seorang Muslim dari gangguannya, yaitu membaca ayat Kursy saat akan tidur. Lalu Abu Hurairah Radhiyallahu anhu memberitahu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal tersebut.

فَقَالَ : إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِيِّ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنْ اللَّهِ حَافِظٌ وَلَا يَقْرَبَكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ وَكَانُوا أَحْرَصَ شَيْءٍ عَلَى الْخَيْرِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ ذَاكَ شَيْطَانٌ – رواه البخاري
Setan berkata: “Bila kamu mau berbaring di tempat tidurmu, maka bacalah ayat Kursy, niscaya engkau senantiasa akan dijaga oleh Allâh dan engkau tidak akan didekati oleh setan sampai pagi hari!” Jawab Rasûlullûh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Ia telah jujur padamu (tentang hal tersebut), dan ia (pada hakikatnya) adalah pembohong yang ulung, ia itu setan”.[19]

2. Membaca بسم الله ketika membuka pakaian dan ketika mau masuk WC.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan, apabila kita membuka pakaian saat akan mandi atau untuk berganti pakaian atau dan sebagainya, hendaklah kita membaca: بسم الله . Barangsiapa yang membaca بسم الله saat membuka pakaiannya sesungguhnya setan tidak akan bisa melihat auratnya.


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersbada :
سِتْرُمَا بَيْنَ أَعْيُنِ الجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ – إِذَا دَخَلَ أَحدُهُمُ الْخَلاَءَ – أَنْ يَقُوْلَ : بِسْمِ اللهِ

رواه الترمذي وصححه الألباني

Penghalang antara pandangan jin dengan aurat bani Adam adalah apabila salah seorang kalian akan masuk WC, ia membaca بسم الله .[20]

3. Membaca do’a ketika masuk WC.

Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila akan memasuki WC beliau membaca:

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبْثِ وَالْخَبَائِثِ
Ya Allâh, lindungilah aku dari gangguan jin laki-laki dan jin wanita.[21]

Tidakkah selayaknya kita mencontoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , meskipun beliau hamba yang ma’shûm dan terjaga dari sisi Allâh, akan tetapi beliau tetap memohon lindungan Allâh dari gangguan setan/Jin.
4. Membaca do’a saat akan berhubungan suami isteri.

Begitu sempurnanya agama Islam sampai adab berhubungan suami-isteri mendapat perhatian dan tuntunan pula. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada umatnya ketika mereka akan menggauli isteri hendaklah membaca :

«بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِى ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا». متفق عليه

“Dengan nama Allâh, ya Allâh jauhkanlah setan dari kami dan dari rizki yang engkau berikan kepada kami,” jika ditakdirka antara keduanya mendapat anak saat itu, niscaya ia tidak akan diganggu setan selamanya.[22]
5. Menghiasi rumah dengan sering membaca surat al-Baqarah di dalamnya.

Banyak rumah kita bangunannya mentereng tetapi tidak merasa nyaman dan tenteram di dalamnya. Bahkan terkadang terdapat hal-hal yang menakutkan bagi penghuninya. Mengapa begitu? Karena kebanyakan rumah kita dihiasi dengan hiasan yang merangsang untuk kedatangan makhluk halus, seperti foto dan patung. Dan yang lebih fatal lagi para penghuni jarang melakukan shalat-shalat sunnah dan membaca al-Qur`ân di dalamnya.


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ «لاَ تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِى تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ». رواه مسلم

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibaca di dalamnya surat al-Baqarah”.[23]

6. Membaca do’a ketika masuk rumah.

Disebutkan dalam sebuah hadits, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersbada:


عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّه رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِىَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ لاَ مَبِيتَ لَكُمْ وَلاَ عَشَاءَ. وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يَذْكُرِ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ. وَإِذَا لَمْ يَذْكُرِ اللَّهَ عِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ وَالْعَشَاءَ- رواه مسلم

Dari Jabir bin Abdillâh Radhiyallahu anhuma, ia mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila seseorang memasuki rumahnya menyebut nama Allâh ketika saat masuknya dan ketika saat akan menyantap hidangannya, maka Setan berkata: ‘Tidak ada jatah tempat tinggal untuk kalian dan tidak pula jatah makan’. Apabila ia masuk tanpa menyebut nama Allâh saat ketika masuk, Setan berkata: ‘Kalian mendapat jatah tempat tinggal’. Dan apabila ia tidak menyebut nama Allâh lagi ketika saat menyantap hidangannya, Setan berkata: ‘Kalian mendapat jatah tempat tinggal dan jatah makan’.”[24]

7. Membaca do’a ketika singgah di sebuah tempat atau memasuki daerah baru.

Diriwayatkan dari Khaulah binti Hukim, ia berkata: Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang singgah di sebuah tempat, kemudian ia membaca:

«أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ. لَمْ يَضُرُّهُ شَىْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ ». رواه مسلم

Aku memohon lindungan Allâh dari kejahatan makhluk yang telah diciptakan-Nya, maka tidak satupun yang akan membahayakannya sampai ia meninggalkan tempat tersebut”[25].

Dan masih banyak lagi do’a dan dzikir-dzikir yang dapat menghindarkan kita dari gangguan setan/Jin. Para ulama, banyak yang sudah mengumpulkan do’a dan dzikir-dzikir tersebut ke dalam satu kitab kumpulan do’a dan dzikir, dan mudah dicari di toko-toko buku. Tetapi perlu berhati-hati dalam memilih buku-buku do’a yang beredar di pasaran, sebab tidak sedikit pula buku-buku do’a yang dijual penuh dengan hadits-hadits palsu dan dhaif. Dianatara buku do’a yang ringkas, disusun dengan sistematis serta sesuai dengan Sunnah, dan harganya pun sangat terjangkau, yaitu buku do’a Hisnul-Muslim, disusun oleh Syaikh Sa’id bin Ali al-Qahthany. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan dicetak oleh banyak percetakan. Penulis sangat mengajurkan para pembaca untuk memilki dan menghafalnya.

Oleh Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, MA

Footnote
[1]. Lihat I’ânatul-Mustafîd, Fauzan, hlm. (2/171).
[2]. Ibid.
[3]. Lihat Syarah as-Sunnah, 12/182.
[4]. Lihat al-Fatâwâ al-Kubrâ, 1/63.
[5]. Ibid.
[6]. Lihat Syarah Thahâwiyah, 703.
[7]. HR al-Bukhâri, 4/1804 (4522).
[8]. HR al-Bukhâri, 5/2173 (5429).
[9]. HR al-Bukhâri, 3/1175 (3038).
[10]. HR Muslim, 7/35 (5949).
[11]. HR Muslim, 7/37 (5957).
[12]. HR Abu Dawud, no. (3004), Tirmidzi, no. (135), Ibnu Mâjah, no. (639).
[13]. Lihat Syarah Thahâwiyah, Shâlih Alu Syaikh, 704.
[14]. Ibid.
[15]. HR Thabrani, al-Mu’jam al-Kabîr, 18/162 (355); al-Mu’jam al-Awsath, 4/302 (4262).
[16]. HR al-Bukhâri, 5/2172 (5428); Muslim, 5/35 (4092).
[17]. Lihat Raudhah ath-Thâlibîn, 9/346.
[18]. Lihat Shahîh al-Bukhâri, 3/1395 (3629).
[19]. Lihat Shahîh al-Bukhâri, 3/1194 (3101).
[20]. Lihat Sunan Tirmidzi, 2/503 (606).
[21]. HR al-Bukhâri, 1/66 (142); Muslim, 1/195 (857).
[22]. HR al-Bukhâri, 5/2347 (6025); Muslim, 4/155 (3606).
[23]. HR Muslim, 2/188 (1860).
[24]. HR Muslim, 6/108 (5381).
[25]. HR Muslim, 8/76 (7053).


Sumber: disini